BantenCorner – Insiden pemotongan rambut paksa di Universitas Bina Bangsa bukanlah sekadar pelanggaran etika kampus, melainkan sebuah cerminan dari sistem yang lebih besar, sistem yang menindas dengan dalih tradisi dan norma. Hal ini merupakan momen untuk kita membuka mata, bukan hanya pada realitas kampus, tapi juga pada realitas sosial.
Pemotongan rambut paksa ini merupakan bentuk penindasan yang terselubung dalam baju norma. Seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault, norma-norma sosial, termasuk aturan kampus, seringkali menjadi alat untuk mengendalikan dan menundukkan individu. Dalam kasus ini, aturan tentang potongan rambut menjadi alat untuk menundukkan mahasiswa baru, membuat mereka tunduk pada kekuasaan dan norma yang dibentuk oleh pihak kampus.
Hal ini memberi kita penglihatan jelas bagaimana budaya patriarki dan hierarki yang masih kuat dalam masyarakat kita. Pemotongan rambut yang seringkali dikaitkan dengan simbol kedisiplinan dan kepatuhan, menjadi alat untuk menegaskan dominasi dan kontrol. Mahasiswa baru, yang dianggap sebagai kelompok yang lemah dan rentan, menjadi sasaran penindasan ini.
Dari sisi psikologi, tentu kita semua tahu bahwa tindakan ini dapat menimbulkan trauma psikologis bagi mahasiswa baru. Mereka dipaksa untuk melepaskan identitas diri mereka, merasa terhina dan direndahkan. Hal ini dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis mereka, mengurangi rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa takut hingga tunduk serta ketidaknyamanan dalam berinteraksi dengan lingkungan kampus.
Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Setiap orang memiliki hak untuk menentukan penampilan dan gaya rambut mereka sendiri. Pemotongan rambut paksa termasuk dalam kategori bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan individu.
Insiden ini bukan hanya tentang potongan rambut, ini adalah tentang bagaimana kita membangun sistem pendidikan yang adil, berbasis pada nilai-nilai humanisme, dan menghormati hak asasi manusia. Kampus seharusnya menjadi ruang untuk menumbuhkan keberanian, kreativitas, dan kebebasan berpikir, bukan menjadi ruang untuk menindas dan menundukkan.
Saya sebagai Mahasiswa Biasa menganggap momen ini adalah panggilan untuk Saya, untuk kita semua, untuk menilai kembali norma dan tradisi yang telah lama berakar dalam masyarakat. Kita harus berani menentang penindasan dalam segala bentuknya, termasuk penindasan yang terselubung dalam nama tradisi dan aturan. Kita semua harusnya membangun kampus yang menjadi ruang untuk berkembang, bukan ruang untuk terkekang.
Perlu Saya sampaikan, sudah saatnya kita semua, baik civitas akademika maupun masyarakat luas, untuk merenungkan kembali apa makna pendidikan yang sesungguhnya, membuka dialog dan refleksi tentang esensi pendidikan, hak asasi, dan etika yang sesungguhnya untuk menjadi contoh dan demi menciptakan generasi unggul. Pendidikan bukanlah tentang seragam, potongan rambut, atau aturan-aturan bias, melainkan tentang bagaimana kita membangun generasi masa depan yang cerdas, berintegritas, dan mampu berpikir kritis.***