Dalam dinamika kebudayaan Islam di Nusantara, waktu bukan hanya menjadi medium teknis untuk mencatat peristiwa, tetapi juga menjadi arena spiritual yang hidup dalam kesadaran kolektif. Dalam masyarakat Jawa dan Banten, waktu tidak dipahami secara mekanis atau linier sebagaimana dalam sistem penanggalan Barat, melainkan sebagai entitas kosmik yang penuh makna, ritme, dan kekuatan simbolik. Di antara beragam penanda waktu sakral itu, bulan Muharram—atau Sura dalam sebutan lokal—menjadi salah satu titik puncak dari pengalaman religius dan budaya masyarakat Islam lokal. Ia tidak hanya dipahami sebagai awal tahun baru Islam, tetapi sebagai ruang waktu yang dipenuhi kontemplasi, ritus, pantangan, dan hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan, leluhur, serta kekuatan alam dan adikodrati.
Dalam konteks kebudayaan Banten, yang sejak awal berkembang sebagai wilayah di persimpangan antara kekuasaan politik, spiritualitas Islam, dan warisan budaya Sunda-Jawa, makna bulan Sura berkembang menjadi lebih dari sekadar refleksi waktu keagamaan. Ia menjadi sarana untuk meneguhkan identitas spiritual masyarakat Banten, sekaligus memperlihatkan bagaimana sejarah, mitologi, dan ritus lokal menyatu dalam kalender Islam. Di wilayah seperti Gunung Santri, Gunung Karang, dan daerah pesisir utara Banten, bulan Sura dihayati sebagai masa berpuasa, menyepi, berziarah, dan melakukan laku prihatin sebagai bentuk penghormatan kepada para wali, syekh, dan leluhur yang diyakini menjadi penjaga alam dan iman masyarakat.
Kesadaran akan waktu sakral dalam masyarakat Banten tidak lepas dari sejarah panjang dakwah Islam di wilayah ini, yang berlangsung secara intensif sejak abad ke-16. Para ulama dan tokoh tarekat seperti, Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin, hingga Syekh Nawawi al-Bantani dan para penerusnya telah mengajarkan bahwa waktu bukan hanya ruang kosong, tetapi ladang spiritual yang harus diolah dengan keinsafan dan tirakat. Bulan Muharram, dalam hal ini, sering dimaknai sebagai awal “pembukaan langit”—saat di mana energi ruhani lebih mudah mengalir dan doa lebih mudah diterima. Oleh sebab itu, tidak sedikit masyarakat Banten yang memilih bulan Sura sebagai waktu untuk melakukan ziarah ke makam-makam wali. Dalam ritual-ritual ini, waktu menjadi jembatan antara sejarah dan spiritualitas, antara masa lalu dan harapan masa depan.
Penamaan bulan Sura sendiri mengandung lapisan makna yang kompleks. Secara etimologis, Sura merupakan pelokalan dari kata Arab “Asyura”, merujuk pada hari ke-10 bulan Muharram yang diperingati oleh umat Islam sebagai hari penting dalam sejarah para nabi. Dalam tradisi Islam normatif, hari ini diidentifikasi dengan peristiwa keselamatan Nabi Nuh dari banjir besar, Nabi Musa dari kejaran Firaun, dan juga awal mula pertobatan umat terdahulu. Dalam konteks Banten, terutama di kalangan pengamal tarekat dan masyarakat yang masih menjaga adat spiritual, kisah-kisah para nabi ini tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi juga secara simbolik—yakni sebagai momentum spiritual untuk “menyelamatkan” batin dari gelombang nafsu dan dunia yang kian hiruk pikuk. Oleh karena itu, praktik puasa Asyura, tahlilan keluarga, serta sedekah di awal bulan Sura masih banyak dilakukan sebagai bentuk penerusan warisan spiritual yang berakar pada masa Islamisasi awal Banten.
Lebih jauh, kesakralan bulan Sura dalam tradisi Banten juga erat kaitannya dengan sistem kepercayaan lokal yang menyatu dalam tafsir Islam. Sejak masa Kesultanan Banten, kalender Islam telah berfungsi bukan hanya sebagai penanda waktu ritual ibadah seperti Ramadhan dan Haji, tetapi juga sebagai kerangka pengorganisasi kehidupan sosial dan budaya. Sultan-sultan Banten memanfaatkan waktu-waktu sakral seperti bulan Sura untuk meneguhkan kekuasaan simbolik mereka. Dalam catatan-catatan Belanda dan naskah lokal seperti “Sadjarah Banten” dan “Hikayat Hasanuddin”, tercatat bahwa bulan Sura sering digunakan sebagai waktu pelantikan spiritual, pengangkatan jabatan, atau upacara besar di istana. Kesultanan memanfaatkan waktu ini sebagai medium legitimasi, memperkuat posisi mereka sebagai pemimpin dunia dan akhirat.
Tradisi spiritual masyarakat Banten juga memperlihatkan bagaimana kesakralan waktu seperti bulan Sura bukan hanya diwariskan, tetapi juga dijalani dengan serangkaian praktik simbolik. Di beberapa wilayah pedalaman, malam 1 Sura masih dijalani dengan tapa bisu, semedi di pinggir sungai atau mata air, serta pembacaan wirid dan hizib tertentu. Bahkan dalam lingkungan komunitas tarekat di Pandeglang dan Serang, bulan Sura menjadi awal siklus latihan ruhani, pembacaan manaqib, dan mujahadah berjamaah. Semangat laku ini berakar dari keyakinan bahwa waktu sakral membuka celah bagi manusia untuk masuk ke dalam medan spiritual yang lebih dalam, menyucikan diri dari dosa, dan mendekat kepada hakikat ilahiah.
Aspek mistik bulan Sura juga hadir dalam kepercayaan masyarakat pesisir yang mempercayai adanya kekuatan gaib penjaga laut dan gunung. Dalam narasi-narasi lisan yang hidup di pesisir barat Banten, seperti di Labuan, Carita, hingga Cibaliung, bulan Sura dianggap sebagai masa di mana para makhluk gaib lebih aktif, dan batas antara dunia manusia dan dunia halus menjadi tipis. Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan untuk tidak melakukan perjalanan jauh ke laut atau gunung, serta menghindari kegiatan besar seperti pernikahan atau pembangunan rumah. Dalam kesadaran kosmologis ini, waktu menjadi kekuatan yang hidup dan harus dihormati. Ketidaktaatan terhadap kesakralan waktu bisa berakibat buruk, seperti sakit, bencana, atau ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Dalam aspek sejarah spiritualitas Islam, bulan Sura juga mengandung memori duka yang dalam—yakni tragedi Karbala, pembantaian cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husein bin Ali, di padang Karbala pada tanggal 10 Muharram. Meskipun tradisi Syiah tidak berkembang luas di Banten, namun kesedihan atas peristiwa ini hidup dalam bentuk doa, pengajian, dan penekanan terhadap nilai perjuangan dan keikhlasan dalam menghadapi penderitaan. Di beberapa pesantren tradisional di Banten, kisah Karbala diceritakan kembali sebagai pelajaran moral dan spiritual bagi santri, bahwa hidup adalah perjuangan yang harus dijalani dengan cinta dan keteguhan terhadap nilai-nilai keadilan.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Banten, waktu Sura menjadi titik transisi, waktu untuk menghentikan sejenak aktivitas duniawi dan memusatkan perhatian pada kebatinan. Puasa, wirid, tirakat, dan larangan berpesta bukan sekadar tradisi turun-temurun, tetapi refleksi dari hubungan manusia dengan alam spiritual yang lebih luas. Sebagaimana konsep “ngalaksa waktu” dalam budaya Sunda-Banten, waktu tidak boleh dipakai secara sembarangan, melainkan harus dihayati dan dirawat dengan kesadaran. Dalam dunia modern yang sibuk dan cenderung melupakan kedalaman waktu, kesadaran kultural ini menjadi semacam kritik terhadap banalitas hidup yang kian kehilangan makna.
Melalui pemaknaan waktu seperti ini, masyarakat Islam Banten menunjukkan bahwa spiritualitas tidak selalu hadir dalam wujud doktrinal yang kaku, tetapi justru hidup dalam pengalaman simbolik dan narasi-narasi kolektif yang mengikat satu generasi ke generasi berikutnya. Waktu menjadi bukan sekadar ruang netral, tetapi medan simbolik yang diisi dengan kisah, ritus, dan perjumpaan antara manusia dan yang gaib. Kesadaran ini terlihat jelas dalam bagaimana masyarakat Islam Banten menjalani bulan Sura sebagai momentum spiritual untuk menyepi, menyucikan diri, dan memperbarui hubungan dengan Sang Pencipta, para leluhur, dan seluruh tatanan semesta.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang bulan Muharram atau Sura dalam tradisi Islam Jawa dan Banten, kita tidak sedang berbicara tentang satu bulan dalam kalender, tetapi tentang keseluruhan sistem nilai dan pandangan hidup. Bulan ini adalah ruang di mana sejarah spiritual umat Islam bertemu dengan memori lokal, mitos, dan kekuatan simbolik yang telah lama hidup dalam kesadaran masyarakat. Di sinilah waktu menjadi sakral bukan karena ia dipaksakan dari luar, tetapi karena ia dihidupi dari dalam, melalui pengalaman batin, narasi kolektif, dan keyakinan akan adanya kekuatan besar yang bekerja dalam diam. Bulan Sura menjadi pengingat bahwa dalam kebudayaan Banten, waktu bukan hanya tentang perubahan, tetapi tentang penghayatan terhadap yang abadi.***